Maqashid Asy-Syariah (Tujuan Hukum Islam)
Syariat Islam adalah peraturan hidup yang datang dari Allah ta’ala,
ia adalah pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman hidup ia
memiliki tujuan utama yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan
diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia. Dalam
ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut dengan maqashid as-syari’ah yaitu
maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid
dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid
merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku
kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqashid
berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[1]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي
الماء
artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan
berjalan menuju sumber kehidupan.[2]
Di dalam Alqur’an Allah ta’ala menyebutkan beberapa kata “syari’ah”
diantaranya adalah:
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. QS. Al-Jatsiyah: 18.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟
ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ
Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. QS. Asy-Syuura: 13.
Dari dua ayat di atas bisa disimpulkan bahwa “syariat” sama dengan “agama”,
namun dalam perkembangan sekarang terjadi reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah
misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya
sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid
Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur
hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim,
alam dan seluruh kehidupan.
Maqashid Syariah
secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap
aturannya. Imam Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi
manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع
في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Sesungguhnya
syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan
manusia di dunia dan Akhirat”.
Pada bagian lainnya beliau menyebutkan:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba.
Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat.
Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat
hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih
lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang,
bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its)
penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah),
atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Mengapa An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena
menurut ia nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat)
tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya
menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat.
Misalnya firman Allah ta’ala:
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌۭ وَرَحْمَةٌۭ لِّلْمُؤْمِنِينَ
ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًۭا
Dan
Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang lalim selain kerugian. QS. Al-Isra: 82.
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. QS. Al-Anbiyaa: 107.
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil
(bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam
ta’lil. Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah akan menjadi rahmat bagi umat
manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan
syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka Maqashid Syari’ah adalah
maksud dan tujuan disyariatkannya hukum Islam. Beberapa Ulama mendefinisikan Maqashid
Syariah sebagai berikut:
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام
هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
Maqashid
Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan
bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan
kebutuhan Hajiyat dan Tahsiniat mereka.
Kesimpulannya bahwa Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk
mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat
dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah ta’ala terhadap manusia
adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan
dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan Mu’amalah) maupun di
akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan
tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat
(tersier).
Secara umum tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya
adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun
kemashlahatan di akhirat. Hal ini berdasarkan Firman Allah ta’ala:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. QS. Al-Anbiya: 107.
Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala berfirman:
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنْيَا حَسَنَةًۭ وَفِى
ٱلْءَاخِرَةِ حَسَنَةًۭ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” QS.
Al-Baqarah: 201-202
أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌۭ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Mereka
Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Ayat 201 surat Al-Baqarah dan seterusnya di atas memuji orang yang
berdoa untuk mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat , dimaksudkan sebagai
contoh teladan bagi kaum muslimin.
Apabila dipelajari secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya
yang terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera
dapat mengetahui tujuan hukum Islam. Sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam
adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan
jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat
yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu
tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang
kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,
yakni:
1.
Hifdz
Ad-Din (Memelihara Agama)
2.
Hifdz
An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3.
Hifdz
Al’Aql (Memelihara Akal)
4.
Hifdz
An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5.
Hifdz
Al-Maal (Memelihara Harta)
Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut
al-maqasid al khamsah atau al-maqasid al- shari’ah.
Tujuan hukum Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni (1)
segi Pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya. Dan (2) segi manusia yang
menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum Islam
tujuan hukum Islam itu adalah: Untuk memelihara keperluan hidup manusia yang
bersifat primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam
masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat.
Kebutuhan primer adalah kebutuhan utama
yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar
kemaslahatan hidup manusia bener-benar terwujud. Kebutuahan sekunder adalah
kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan primer, seperti kemerdekaan,
persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang eksistensi kebutuahan
primer. Kebutuahn tersier adalah kebutuhan hidup manusia selain yang bersifat
primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup
manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.
Tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh
manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Agar dapat ditaati dan dilaksanakan
dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami
hukum Islam dengan mempelajari Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman
hukum Islam sebagai metodologinya.
Di samping itu dari segi pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri,
tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Caranya adalah, dengan mengambil yang bermanfaat, mencegah atau menolak yang
mudarat bagi kehidupan. Dengan kata lain tujuan hakiki hukum Isalm, jika
dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan
manusia di bumi ini dan di akhirat kelak.
a.
Memelihara Agama
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya
adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam
selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim,
terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam
berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang
dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah
menurut keyakinannya.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan
utama yang harus dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Allah
memerintahkan kita untuk tetap berusaha menegakkan agama, firmannya dalam surat
Asy-Syura’: 13:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟
ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia
Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
b. Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan
diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan
demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang
karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati
atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si
pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal ini dapat kita jumpai dalam firman Allah Swt dalam QS
Al-Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى
ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ
عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ
بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ
. وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
b.
Memelihara akal
Manusia adalah makhluk Allah ta’ala, ada dua hal yang membedakan
manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah S ta’ala telah menjadikan manusia
dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain
dari berbagai makhluk lain. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala sendiri
dalam Al-Quran At-Tiin Ayat 4 berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ
Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak
ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh karena itu Allah ta’ala melanjutkan
Firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 5 dan 6 yang berbunyi :
ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ.
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ
غَيْرُ مَمْنُونٍۢ
Kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.
Jadi, akal paling penting
dalam pandangan Islam. Oleh karena itu Allah ta’ala selalu memuji orang yang
berakal. Hal ini dapat dilihat pada
firman Allah ta’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi :
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ
وَٱلْفُلْكِ ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ
ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ
بَيْنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
d. Memelihara Keturunan
Perlindungan Islam terhadap keturunan adalah dengan
mensyariatkannya pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang
tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan
syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan
pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan
menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi
juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا
تَعُولُوا۟.
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S An-Nisa:
3-4.
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ
عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
a.
Memilihara Harta Benda dan Kehormatan
Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah
ta’ala, manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam
juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt
tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun,
maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama
lain. Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah
seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta
melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang
lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah
tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam
firmanNya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم
بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Q.S. An-Nisa: 29-32.
وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا
ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا
Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
إِن تَجْتَنِبُوا۟ كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ
سَيِّـَٔاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًۭا كَرِيمًۭا
Jika
kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang
kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ
ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ
ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا
Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
[1] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-‘Arab
Jilid I, Kairo: Darul Ma’arif, tt, hal. 3642.
Post a Comment