ISTILAH ISTILAH DALAM MADZHAB
SYAFI'I
Kitab Kuning atau sering disebut juga turats memang memiliki keunikan dalam
penulisan dan banyak teka teki dalam mengkajinya. Bagi yang belum akrab dengan
kitab kuning memang akan mengalami kesulitan, ini berbeda dengan kitab – kitab
yang yang ditulis oleh ulama- ulama sekarang yang lebih mudah dan ringan
dalam membacanya, dikarenakan tulisan
kitab sekarang mungkin sudah lebih sistematis penyusunannya dan menghindari
kata – kata yang sulit difaham.
Memahami kitab kuning dibutuhkan ketrampilan khusus dan pengusaan ilmu alat
yang memadai, disamping itu pula memahami metode yang dipakai oleh penulisnya,
sebab antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lain memilki perbedaan yang
signifikan, sebagai contoh dalam kitab – kitab fiqih juga banyak teka – teki, istilah
dan rumus – rumus yang berbeda antara madzhab yang satu dengan yang lainya,
bahkan perbedaan itu pun juga masih ada walaupun masih dalam satu madhab,
contoh dalam madhab Assyafii yang akan penulis ketengahkan dalam tulisan ini.
Dalam madhab syafii mungkin yang lebih banyak dibanding madhab yang lainya
dalam segi Istilah dan rumus-rumusnya.
Syekh Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf an- Nawawi (676 H) terkenal dengan
nama Imam nawawi adalah orang yang
dianggap sebagai penyunting dan pen-tahqiq dalam madzhab Syafi`i , beliau telah
berusaha keras untuk memperjelas metode, istilah dan rumus-rumus tersebut yanag
beliau tulis dalam berbagai macam kitab beliau dan mungkin lebih spesifik di
kitab Al – Mnhaj.
Istilah - istilah tersebut adalah sebagai berikut :
1) Al-Qaul / Al-Aqwal (القول / الاقوال ). Al Aqwal Jamak dari lafad Al qaul ini
dalam buku-buku Syafi’iyyah, menurut imam nawawi adalah merupakan perkataan
atau hasil dari ijtihadnya Imam Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul
jadidnya.
2)
Qaul al-Qadim (القديم قول)
adalah pendapat lama yaitu Pendapat Imam Syafi’I yang berupa fatwa atau
karangan kitab (Kitab Al Hujjah) waktu beliau bermukim di Iraq dan sebelum pindah ke Mesir. Dan Di antara murid Assyafii yang
mereriwayatkan qaul qadim ini adalah : Golongan dari ulama yang paling masyhur
diantaranya :
1.
Imam Ahmad bin Hambal,
2.
Imam Za’faroni,
3.
Imam Karobisi dan
4.
Imam Abu Tsur.
Dalam muqoddimah kitab Najmul Wahhaj definisi Al Qodim Menunjukkan 4
pengertian:
1. Adanya khilafiyyah dengan qoul Jadid.
2. Lemahnya qoul Qodim (Marjuh).
3. Khilafiyyah antar pendapat Imam Syafi’i sendiri.
4. Perbandingannya adalah qoul Jadid dan yang di amalkan adalah qoul Jadid.
Jadi apabila anda mendapatkan pendapat
Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama dari Imam
Syafi’i atau disebut juga qaul qadim.
3) Qaul Al Jadid (الجديد قول) adalah Pendapat Imam Syafi’I yang berupa
fatwa atau karangan kitab waktu beliau bermukim di Mesir. Dan Di antara murid Assyafii yang mereriwayatkan qaul qadim ini adalah Golongan dari ulama yang paling masyhur diantaranya:
1.
Imam Buwaithi,
2.
Imam Muzani,
3.
Imam Robi’,
4.
Imam Kharmalah,
5.
Imam Yunus bin Abdul
A’la,
6.
Imam Abdulloh bin
Zubair dan
7. Imam Muhammad bin Abdulloh .
Dalam muqoddimah kitab Najmul Wahhaj definisi Al Jadid menunjukkan 4 Pengertian
:
1.
Adanya
khilafiyyah qoul Qodim.
2.
Pendapat yang
diunggulakan adalah qoul Jadid.
3.
Khilafiyyah hanya
antar pendapat Imam Syafi’i.
4.
Muqabilnya
(perbandingan) adalah qoul Qodim.
Antara Qaul Qodim dan Qaul Jadid dalam
madhab syafi'i secara fungsional tak ubahnya seperti nasikh dan mansukh dalam
kaidah hukum Iislam, walaupun tidak secara mutlak, masih harus di perhatikan
korelasi Qaul itu dengan kemaslahatan umum manusia, ini terbukti
masih ada beberapa pendapat imam Syafii dalam qaul qadimnya yang masih dirilis
dan diunggulkan ulama muhaqqiq assyafiiyah. Contohnya dalam kitab Bujairimi ‘Alal Khatib juz 1 hal: 48. Ada sekitar 20 masalah yang masih
tetap di pertahankan dan di buat pijakan hukum oleh ulama diantaranya :
1.
Tidak wajib menjauh
dari najis pada air yang tidak mengalir atau Tidak wajib menjauhi dari najis di
dalam air yang telah mencapai dua qullah (174,580 liter/ kubus ukuran + 55,9
cm).
2.
Sunnah mengucapkan
taswib (ﭐلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ) pada adzan. baik adzan pertama atau
kedua.
3.
Wudlu tidak batal
dengan menyentuh mahrom.
4.
Air mengalir yang
terkena najis, tetap suci apabila tidak berubah.
5.
Bersuci pakai batu
tidak cukup apabila air kencing menyebar ke mana- mana.
6.
Sunnah melaksanakan
sholat isya awal waktu.
7.
Waktu sholat maghrib
tidak habis dengan sholat 5 rokaat (Berakhirnya waktu Maghrib sampai hilangnya
mega yang berwarna merah).
8.
Makmum tidak di
sunnahkan baca surat pada rokaat ke 3 dan 4 (ini khusus untuk orang yang
pertama melakukan sholat dengan cara sendirian, kemudian dia niat berjamaah
karena ada sholat jamaah).
9.
Makruh memotong kuku
mayit.
10. Tidak memandang nishob dalam harta karun.
11. Sarat takhallul pada haji dengan udzur sakit.
12. Haram memakan kulit bangkai yang telah di samak.
13. Sayyid wajib di=had (hukuman), karena menyetubuhi mahrom yang menjadi
budak.
14. Di perbolehkannya persaksian anak atas orangtua.
15. Sunat bagi ma`mum mengeraskan bacaan Amin dalam shalat Jahriyyah (shalat
yang disunatkan mengeraskan bacaan).
16. Sunat membuat tanda batas dalam shalat ketika tidak ada pembatas di
depannya.
17. Diperbolehkan bagi orang yang melakukan shalat tidak berjama’ah, untuk niat
ma`mum di tengah- tengah pelaksaan shalatnya.
18. Ahli waris boleh mengqodlo`i puasa keluarganya yang meninggal dunia.
19. Boleh memaksa syarik (orang yang mempunyai hak bersama) untuk membangun dan
merehab barang yang rusak.
20. Mahar (mas kawin) yang belum diserahkan kepada istri ketika rusak harus
diganti dengan Dlomanul Yad (ganti yang ditetapkan syara’) artinya kalau barang
tersebut termasuk mitsli (bisa ditimbang atau ditakar) wajib diganti dengan
barang sejenis, kalau mutaqawwam (selain mitsli) wajib diganti dengan harga
standar.
Munculnya dua pendapat ini ( Qaul Qadim dan Qaul jadid ) adalah akibat adanya
qiyas yang bertentangan atau akibat adanya dalil-dalil yang bertentangan. Ini
semua bukanlah menjadi bukti kepada kekurangan ilmu, malahan ia menunjukkan
kesempurnaan akal.
Imam asy-Syafi`i tidak mengatakan yakin pada masalah-masalah yang memang
meragukan. Ia juga menjadi bukti kepada keikhlasannya dalam mencari kebenaran.
Dia tidak menghukum secara pasti kecuali dia sudah mempunyai alasan- alasan
tarjih. Jika dia tidak mempunyai alasan kuat untuk mentarjih, maka dia
membiarkan persoalan itu apa adanya.
Apabila seorang mufti mendapati dua pendapat Imam asy-Syafi`i dalam satu masalah, maka dia boleh memilih pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli tarjih pada masa lalu. Jika tidak ditemukan juga, maka hendaklah dia pasrah (tawaqquf) seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi. Jika suatu masalah itu mempunyai beberapa wajh pada pendapat ahli-ahli ijtihad madzhab Syafi`i (as ha b asy-Syafi`i) atau ada beberapa riwayat yang berbeda, maka seorang mufti hendaklah mengambil pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli ijtihad yang dulu. Yaitu, pendapat yang telah disahkan oleh mayoritas ulama, kemudian oleh orang yang paling tahu, kemudian oleh orang yang lebih wara`. Jika tidak menemukan pentarjihan, hendaklah didahulukan pendapat Imam asy-Syafi`i yang diriwayatkan oleh al-Buwaithi, ar-Rabi` al-Muradi, dan al-Muzani.
Apabila seorang mufti mendapati dua pendapat Imam asy-Syafi`i dalam satu masalah, maka dia boleh memilih pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli tarjih pada masa lalu. Jika tidak ditemukan juga, maka hendaklah dia pasrah (tawaqquf) seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi. Jika suatu masalah itu mempunyai beberapa wajh pada pendapat ahli-ahli ijtihad madzhab Syafi`i (as ha b asy-Syafi`i) atau ada beberapa riwayat yang berbeda, maka seorang mufti hendaklah mengambil pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli ijtihad yang dulu. Yaitu, pendapat yang telah disahkan oleh mayoritas ulama, kemudian oleh orang yang paling tahu, kemudian oleh orang yang lebih wara`. Jika tidak menemukan pentarjihan, hendaklah didahulukan pendapat Imam asy-Syafi`i yang diriwayatkan oleh al-Buwaithi, ar-Rabi` al-Muradi, dan al-Muzani.
4) al-Nash ( النص ) atau teks/Redaksi adalah pendapat Imam Syafi'i sendiri atau Fatwa tertulis dari Imam Syafi’i. pendapat beliau ini di sebut nash untuk
menempatkan pendapat beliau pada posisi tertinggi dalam internal mazhab.
Lawannya ialah wajh akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah dan sudah keluar dari metodologi Imam Syafi’i).
Imam Nawawi berkata :
وحيث اقول النص فهو
نص الشافعى رحمه الله ويكون هنك وجه ضعيف او قول مخرج
“ Ketika kami
menagatakan lafad al-Nash ( النص ) maksudnya adalah Nashnya imam Syafii
dan disana pula ada wajh dha’if
atau qaul mukharraj ( pendapat
yang bukan dari Imam Syafi’i
“
memang kadang-kadang fatwa dikeluarkan tidak berdasarkan nash (teks
Syafi’i), oleh karena itu lawan dari al-nash tidak serta merta
boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang
Imam kecuali dengan memberikan catatan.
5) al-Manshush (ﭐلمنصوص), adalah pendapat yang kuat menurut penilaian al-Syafi'i. istilah
ini di populerkan oleh murid-murid beliau guna mencari legitimasi dari
gurunya.
6) al-Takhrij (التخريج ), adalah jawaban al-Syafi'i dalam dua kasus yang hampir sama,
tetapi ketentuan hukumnya di terapkan berbeda.
7) Al-Wujuh atau al-Aujuh ( الأوجه ) adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah-kaidah
dan ushul Imam Syafi’i. Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan
kepada Imam Syafi’i, lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi’i yyah saja.
8) At-Thuruq ( الطرق ), adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah
dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut
satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut
ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa
aujuh, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.Dan al-mazhab ( المذهب )
adalah yang rajih.
9)
Al-Azhhar ( الأظهر), adalah qaul yang lebih jelas dari dua qaul
ataupun lebih dari pendapat Imam asy-Syafi`i rahimahullah. al-adzhar ini merupakan pendapat yang rajih (yang diunggulkan)
ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih, antonim
dari al-adzhar ( الأظهر) sekaligus yang marjuh yaitu al-dzahir ( الظاهر ). Dalam muqoddimah kitab Al Bayan Juz 1 hal 57 Imam Ibnu hajar mengistilahkan
Al Adzhar dengan kata- kata Al Mu’tamad (على المعتمد).
Dalam muqoddimah kitab Najmul Wahhaj definisi Al Adzhar Menunjukkan 4
pengertian:
- Terdapat perbedaan pendapat (Khilafiyah).
- Dalam suatu pendapat ada yang diunggulkan (Rojih)
- Khilafiyyah tersebut hanya antar pendapat Imam Syafi’i.
- Cukup jelas perbandingannya (Al- Muqobil) ditinjau dari dalil dan illatnya walaupun yang menjadi sandaran (Al- Mu’tamad) untuk berfatwa dan hukum adalah yang Al- Adzhar
10)
Al-Masyhur (المشهور ), adalah qaul yang masyhur yang diunggulkan dari
dua atau lebih qaul Imam asy- Syafi`i. Perbedaan di antara kedua atau lebih
pendapat-pendapat itu tidak kuat. Lawannya ialah gharib karena lemahnya dalil.
11)
Al-Ashah (الأصح), adalah pendapat yang lebih shahih dari dua
wajh atau lebih yang diusahakan oleh tokoh-tokoh madzhab dalam memahami
perkataan Imam asy- Syafi`i, berdasarkan kepada prinsip yang telah diletakkan
olehnya atau diambil dari kaidah-kaidahnya. Tingkat perbedaan pendapat pada
perkara yang disebutkan ini adalah kuat. Lawannya ialah adalah Shahih (صحيح).
Dalam muqoddimah kitab Al Bayan Juz 1 hal 57 Imam Ibnu hajar mengistilahkan Al
Ashoh dengan kata- kata Al Aujuh (على الأوجه)
12)
Ash-Shahih (الصحيح), adalah pendapat yang shahih dari dua wajh
atau lebih. Tetapi, tingkat perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh madzhab ini
tidak kuat. Lawannya adalah dhaif (ضعيف) karena kelemahan dalilnya.. Jadi
kesimpulannya Al Ashoh dan As Shokhih adalah Pendapat ulama Syafi’iyyah yang
berlandaskan kaidah dan metode ushul fiqh Imam Syafi’i.
13)
Al-Madzhab (المذهب), adalah perbedaan pendapat tokoh-tokoh
madzhab dalam menceritakan pendapat madzhab. Sehingga perbedaan itu terjadi di
antara dua atau lebih thuruq. Umpamanya adalah sebagian mereka menceritakan
dalam satu masalah ada dua qaul (pendapat iamam asy-Syafi’i) atau ada dua wajah
(pendapat tokoh madzhab). Sedangkan yang lain memastikan hanya satu saja
pendapat itu. Kadang-kadang pendapat ini adalah rajih dan kadang-kadang sebaliknya.
Dan apa yang dimaksud dengan al-madzhab ialah pendapat yang menjadi fatwa dalam
madzhab atau yang rajih dari thuruq tersebut.
14)
Wa qila kadza ( وقيل كذا ); adalah pendapat
lemah dari pengikut madzhab Imam Syafi’i.
15)
Fii qaulin kadza ( في قول
كذا ) adalah pendapat Imam Syafi’I terhadap suatu masalah, yang mana
lawan dari fii qaulin kadza adalah pendapat yang diunggulkan (al-rajih).
16)
Al-Ashhab ( الاصحاب ) adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas
sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap
berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .
Mantap ustadz. Syukron
ReplyDelete