Syeikh Ibn
‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti
Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo.
Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Di kota
inilah ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di
berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama
dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar
ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Sejak
kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa
syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu
Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat
Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki,
sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat
Al-Syadzili.
tergolong
ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya.
Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari
beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini
disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah.
Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq,
dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan
at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism
al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn
Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam
satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas
tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai
praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak
semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn
‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan
bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi
orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal
sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah
yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al
Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah
tetap terpelihara.
Meski ia
tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah
dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab
dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini.
Pengarang
kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu
al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami
al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal
dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin
Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah
merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya
tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum,
namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan
menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan
sekitar tahun 658 sampai 679 H.
Ayahnya
termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah
al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful
Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu
al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian
telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya,
lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga
Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari
jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja
sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih
Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang
salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi
oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab,
tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh
karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang
faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt
sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan
tidak menyukainya.
Ibnu Atho’
menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang
yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari
kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan:
“Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke
sini, tolong beritahu aku”,
... dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
... dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
Pada
akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun
menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa
memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan
riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa
pertama
Masa ini
dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti
tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di
Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya
yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih,
dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang
mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”.
Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka
(ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat
menentangnya”.
Masa kedua
Masa ini
merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati
ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas
al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa
ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia
jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya
ini.
Ada cerita
menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’
mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya
:
“apakah
semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak
menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya
aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya,
apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka
semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan
hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku
datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang
masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini
jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini
mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah
menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka
demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya
dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke
dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan
meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan
keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.
Dalam hal
ini Ibn Athoilah menceritakan :
“Aku
menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan
ilmu dzahir.
Belum
sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau
mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’.
Dulu dia
adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit
manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah
sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada
tuan?”.
Aku
memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita.
Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi
garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah
bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau
berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali
tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia
sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu
aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah
Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku
baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan
oleh Allah”.
Masa
ketiga
Masa ini
dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir
dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini
adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan
ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah
pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan
cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya
dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu
cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan
pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut
Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya,
setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya
seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya
matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang
banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi
tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas
ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah
ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar
berkata:
“Ibnu
Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan
perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh,
juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan
beliau menjadi simbol kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
“Ibnu
Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan
dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati.
Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang
orang ahli tariqah”.
Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Karya.
Sebagai
seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22
kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai
khitobah.
Kitabnya
yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia Islam
ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar oleh beberapa
orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan
At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism
Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu
Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua
ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali
terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah
adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu
Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah.
Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu
Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan
bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi
orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Al-Hikam
Ibnu 'Ataillah
Kitab ini
dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya daripada
kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh Ibnu
Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi
penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan
jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab
Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul
Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya,
kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang
mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah
dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh
dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf
sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai
tasawuf pada ma’rifat.
Adapun
pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada
para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya
mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang
sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan
syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf
hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa
(tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang
dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus
menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada
Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan
memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai
keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas.
"Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang
akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,"
ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan
bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak
bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta
kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba
dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta
benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang
sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan
spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan
sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan
jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah.
Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak
dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai
hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara
sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Karomah
Ibn Athoillah
Al-Munawi
dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam
ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang
artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar
suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak
ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu
Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal
kelak.
Di antara
karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau
berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia
juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah.
Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji
atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya
menjawab “Tidak”.
Kurang
puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing
spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab
: “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini
menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb
di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.
Wafat
Tahun 709
H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang
tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih
mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup
beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan
pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan
di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
dikutip
dari : http://tasawuf.blog.com/2010/04/syekh-ibnu-athaillah/
Labels: Biografi
Ibnu 'Athaillah
Pandangan Ibn ‘Athaillah tentang
Maqam Sufi
Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).
Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).
Maqām
adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang
membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat;
seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah
dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu
syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada
diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan
yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah
suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses
usaha riyadhah.
Namun,
dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia
memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang
salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena
usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki
kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya
sendiri.
Pun jika
demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa
manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan
keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan
demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik
menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa
al-tadbir).
Mengenai
maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat2. Maqam zuhud3.
Maqam shabar4. Maqam syukur5. Maqam khauf6. Maqam raja’7. Maqam ridha8. Maqam
tawakkal9. Maqam mahabbah
Maqam
Taubat
Taubat
adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam
ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah
tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara
taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan
berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik
melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia
mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya
dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya
berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat
kepada-Nya.
Untuk
mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa
irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk
ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas
kehendak-Nya.
Sedangkan
hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn
adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan
dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga
menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam
Zuhud
Dalam
pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam;
1. Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd
dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian,
dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi.
2. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti
zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai
hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang
dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang
sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya
sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan
kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap
dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd
tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada
dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah
indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu
jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika
hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka,
maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan
kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang
tidak engkau dapatkan”.
Inti dari
zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia
yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak
didapat.
Seorang
salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki
apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
·
yaitu saat kenikmatan dunia tidak
ada dan
·
saat kenikmatan dunia itu
ada.
Ini
dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan
menghargainya dengan bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah.
Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan
tidak sedih.
Maqam
Sabar
Ibn
‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam
1. sabar
terhadap perkara haram,
2. sabar
terhadap kewajiban, dan
3. sabar
terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
·
Sabar terhadap perkara haram
adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
·
Sedangkan sabar terhadap
kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada
Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan
melahirkan
·
Bentuk sabar yang ketiga yaitu
sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah
sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban
ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah
mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama
Allah”.
Sabar
bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar
adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang
dipilih-Nya.
Maqam
sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan
ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Maqam Syukur
Syukur
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
·
Pertama syukur dengan lisan,
yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
·
Kedua, syukur dengan anggota
tubuh, yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
·
Ketiga, syukur dengan hati, yaitu
dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan
yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
“Dalam syukur menurut Ibn
‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan
(pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah,
dan syukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan
segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan
bahwa bentuk syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai
landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur
orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada
mereka yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa
jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan
terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih
lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian;
shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Syhukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan
meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat
dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi
langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang
salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima
sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya
akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah
[kenikmatan itu]).1
Jika
seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya,
maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah
yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih
lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bersyukur
kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak
terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi
Nikmat.
Meskipun
pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, syukur kepada
makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa
yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan
shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk
kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan
syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan
keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada
manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk.
Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat
kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan
berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan
menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah
yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.
Maqam
khauf
Seorang
salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya
ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan
kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut
suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan
mencabutnya.
“Bukti dari makna ini
mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki
ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām
khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian
dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf
seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan
rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām
khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika
khauf tidak ada.
Ibn
‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’
maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah
maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka
baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya
berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn
‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah
membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan
Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf,
maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’
bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’
hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah
angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk
menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’
sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang
ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut
akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan
rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam
Ridha dan Tawakkal
Riḍa dalam
pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan
kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa
terhadap mereka, dan mereka riḍa kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya]
iman adalah orang yang riḍa kepada Allah).
Maqam riḍa
bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi riḍa adalah
anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam
riḍa sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan
terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām riḍa dan maqām
tawakkal. Orang yang riḍa terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan
Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām
tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada
dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya
lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya).
Sebagaimana
maqām-maqām lainnya, maqām riḍa dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa
menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu
bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah,
dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya
segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga
bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah
adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal
tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap
perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan
maqām tawakkal dan riḍa, hal ini jelas, karena seorang yang riḍa maka cukup
baginya perencanaan Allah atasnya.
Maka bagaimana mungkin dia
menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan
perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati
dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa terhadap Allah
telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi
baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah riḍa
kepada qaḍā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan
kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang
lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan
mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan
meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa
akan qaḍā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika
mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini
kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”Jika seseorang
ditimpa bencana hendaklah dia riḍa, hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan
qaḍā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa
senang hati dan lapang dada."
Meriḍai qaḍā’
dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh
agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan
kemaksiatan.
Riḍa
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan
hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat
mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala ketetapan
Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang
wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga
merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal
perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan
memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah
kepada qaḍā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh
mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini,
barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah
SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah
kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka
tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya
bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh.
Yang demikian karena Allah hendak
jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan
dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Maqam
Mahabbah
Imam
al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian
maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama
dari semua maqām.
Namun, Ibn
‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah bahwa dalam
maḥabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia
berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah
(cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang
dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak
dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta
sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi
yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya,
yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah
adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat.
Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari seluruh
maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa dan lain
sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali hanya menjadi permulaan
dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”
Post a Comment