MUQARANAH MADZAHIB
A. Pengertian Muqaranah Madzahib
Secara etimologi muqaranah dalam kamus al-Munjid berasal dari kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan arti muqaranah itu sendiri, kata yang menunjukkan keadaan atau hal yang berarti membandingkan atau perbandingan. Membandingkan di sini adalah membandingkan antara dua perkara atau lebih, seperti misalnya: قارن بين الشيئين
Ia telah membandingkan dua perkara.
Menurut bahasa madzhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Kata madzhab berasal dari kata dzahaba – yadzhabu – dzahaban – dzuhuban – madzhaban. Madzhab juga berarti pendirian.
Menurut istilah para faqih madzhab mempunyai dua pengertian, yaitu : Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah
Kaedah – kaedah istinbat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pengertian madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaedah kaedah istinbatnya. Maka yang dimaksud dengan muqaranah madzahib dalam disiplin ilmu adalah ilmu yang mempelajari tentang perbandingan hukum dari berbagai madzhab, baik dari segi persamaan maupun perbedaannya kemudian mengambil mana yang tepat untuk dijadikan landasan hukum.
Dengan kata lain muqarah madzahib merupakan bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang terdapat dalam berbagai madzhab dengan cara membandingkan satu sama lainnya agar dapat melihat tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab tersebut serta mencari segi- segi persamaan dan perbedaannya.
Dikalangan umat islam ada empat madzhab yang paling terkenal yaitu madzhab hanafi (80 – 150H), madzhab maliki (93 – 179 H), madzhab syafi’I (150 – 204H), dan madzhab hanbali (164 – 241H). Selain empat madzhab tersebut, masih banyak madzhab lain seperti : hasan bashri, ats-tsauri, daud adz-zhahiri, al-auza’I, syi’ah imamiyah dan syiah zaidiyah.
Kalau kita perhatikan dalam menetapkan suatu hukum, adakalanya terdapat perbedaan pendapat diantara imam madzhab itu, walaupun sama meruju’ pada al-Qur’an dan sunnah rasulullah, disamping sumber hukum lainnya, baik yang muttafaq alaihi maupun yang mukhtalaf fihi jalan pikiran imam mujtahid inilah yang perlu kita lihat dan telaah dan kemudian menbanding – bandingkannya. Terus lebih baik lagi, apabila kita mengetahui latar belakang ataupun dasar seorang mujtahid menetapkan suatu hukum. Mungkin karena dipengaruhi oleh lingkungan atau masa, disamping sumber hukum yang dipergunakan. Sebagai contoh, mengapa ada qaul qadim dan qaul jadid dalam madzhab syafi’I, sewaktu beliau di bagdad berbeda jalan pikirannya dengan di mesir.
Perubahan penetapan hukum yang dilakukan oleh imam syafi’I disebabkan oleh dua hal yaitu:
Imam syafi’I menemukan dan berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah bermukim dimesir, atau dengan kata lain, beliau meralat pendapat lama (qadim).
Beliau mempertimbangkan keadaan setempat, situasi dan kondisi. Factor yang kedua inilah barang kali jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas, karena walaupun bagaiman beliau tetap lebih berhati-hati dalam menetapkan suatu hukum. Kita ketahui, beliau menyatakan ketidak setujuannya suatu hukum ditetapakan berdasarkan istihsan (imam hanafi).
Ada suatu hal yang patut kita renungkan mengenai sikap imam syafi’I ketika beliau pergi kebaghdad setelah bermukim dimesir, beliau mendapat sambutan yang hangat dari pengikut-pengikutnya yang ketika itu diminta untuk menjadi ima shalat subuh. Pada saat itu beliau tidak membaca qunut. Ketika pengikut beliau mempertanyakan, (imam syafi’I biasanya membaca qunut dan hukumnya sunah), baliau lalu menjawab : taaduban (demi sopan santun), karena ma’mum dibagdad pada umumnya tidak membaca qunut pada shalat subuh (hanafiyah).disini kita lihat, seorang mujtahid mengenyampingkan pendapatnya untuk menjaga perasaan orang banyak. Tetapi hendaknya diingat, bahwa sikap yang demikian dapat ditiru dan diteladani dalam masalah furu’, bukan masalah pokok.
Kemudian kita lihat lagi contoh lain, mengenai ibadah haji menurut syafi’I wudhu menjadi batal, bila bersentuhan laki-laki dan wanita, sedangkan menurut hanafi tidak batal. Dalam menjalankan tawaf hal-hal semacam ini sukar dihindari karena orang berdesak-desakkan. Apakah tidak sebaiknya dalam persoalan seperti ini kita mengikuti pendapat hanafi? Imam syafi’I pun se benarnya membolehkan dalam keadaan darurat. Hasilnya tetap sama- sama boleh tetapi alasannya yang berbeda. Imam hanafi berpendapat bahwa, pada dasarnya memang boleh bersentuha kulit laki- laki dengan wanita, bkan karena alasa darurat. Sedangkan Imam Syafi’i pun menganggap boleh, karena alasan darurat. Akhirnya pengikut Syafi’I (Syafi’iyyah ), tetap fanatik kepada pendapat imamnya, tidak mau melihat pendapat mujtahid lain.
Pada masa Rasulullah dan shahabat, kita dapat melihat contoh seperti masalah talak tiga. Pada masa Rasululloh, sekiranya ada orang yang menjatuhkan talak tiga sekaligus,dihitung jatuh talak satu dan boleh rujuk lagi. Pada saat mengucapkan talak itu mungkin kemarahan suami terlalu memuncak,tanpa memikirkan akibatnya, yaitu tidak boleh rujuk lagi. Kemudian pada masa kholifah umar ibn khatab, orang yang menjatuhkan talak tiga sekaligus, maka jatuh talak tiga (talak bain), dan tidak boleh rujuk lagi. Mengapa berbeda sekali ketentuan hukumnya? Pada masa umar orang terlalu mudah dan menganggap enteng, sehingga seenaknya saja orang mengucapkan kata talak. Dengan sikap umar yang tegas ini, orang lebih berhati-hati dan tidak mempermainkan talak.
Demikianlah diantara contoh yang dikemukakan di sini dan selanjutnya dapat di telaah pendapat dari masing-masing madzhab danb kitapun bebas memilih pendapat yang menurut kita lebih mantap untuk di amalkan, dengan suatu catatan,jangan hendaknya memilih yang mudah-mudah saja.
Memang untuk membanding-banding dan menentukan pilihan secara tepat, tidak begitu mudah karna harus ada perbendaharaan ilmu dan kemampuan untuk menilai. Oleh sebab itu bagi orang awam yang sudah menetapkan oilihanya berdasarkan petunjuk seorang ulkama atau gurunya, jangan hendaknya di usik (diganggu) yang mengakibatkan dia beribadat tidak tenang dan malahan akan bertambah bingung.
Dalam masyarakat ada saja kemungkinan seorang da’I atau ustadz yang menyampaikan ajaran agama menurut pahamnya (aliran yang dianutnya) dan menyalahkan paham atau aliran orang lain, terutama masalah furu’ (cabang), bukan pokok.
B.Tujuan dan faedah mempelajari muqaranah mazdahib
Barang kali sebagian orang akan beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazdhab dan perbedaan pendapat yang ada antara dan bahkan intern mazdhab itu sendiri, tidak ada gunanya –di samping akan mempengaruhi pendirian dan boleh jadi orang yang mempelajari berbagai madzhab tersebut kemudian membandingkan dalil-dalil dalam menetapkan hukum akan berpindah mazdhab.
Menurut keterangan syaikh Muhammad syaltaut dan Muhammad ali as-Sayis, bahwa ada sebagian ulama mengatakan barang siapa yang telah mengikuti suatu mazdhab ia tidak boleh pindh ke mazdhab yang lain. Bahkan, orang yang pindah mazdhab itu dapat dikenakan hukum ta’zir. Tentu saja pandangan seperti itu merupakan pandangan picik dan tidak dewasa. Padahal melakukan perbandingan antar dan intern mazdhab, merupakan hal yang sangat penting dan banyak faedahnya.setidak-tidaknya tujuan dan faedah mempelajari muqaranah mazdhab dapat dikemukakan sebagai berikut:
Untuk menghilangkan kepicikan pandangan dalam mengamalkan hukum islam .
Dalam kenyataanya, lahirnya sejumlah mazdhab hukum dengan berbagai corak dan perbedaan cara dalam melakukan istimbat hukum, merupakn hal yang tidak bias diingkari. Karna terjadinya perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari perbedaan cara atau metode yang di tempuh oleh para tokoh mazdhab dalam melajukan istimbat.
Dengan beragamnya teori atau prosedur yang ditempuh dalam istinbat hukum, maka kita tidak bias menutupi diri dengan hanya berpegang kepada satu pandangan saja. Sikap seperti merupakan kepicikan pandangan yang harus dihilangkan, kita harus membuka diri selebar- lebarnya untuk menelaah dan mengatahui dari berbagai teori atau metode dikalangan madzhab hukum yang ada, dengan maksud agar dapat mengetahui kwluasan istinbat hukum dan memilih mana yang paling tepat untuk diterapkan dalam menetapkan hukum.
Membedah sikap taqlid
Dalam pengalaman ajaran islam sikap taqlid, ssejauh mungkin harus dihindari, karena taqlid membawa kepada sikap statis dan jumud. Taqlid seperti dituturkan oleh Ibnu al- Subki dalam kitab jami’ al- jawami’ ialah mengikuti atau berpegang pada suatu pendapat tanpa mengetahui dalilnya (akhdzu al- qaul min ghairi ma’rifat dalilih).
Sementara itu Imam al-Haramain, sebagai di kutip oleh muahammad Abdul Ghani bahwa taqlid adalah menerima suatu pendapat tanpa memahami hujjah(huwa qabul qaul bila hujjah). Para ulama’ memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya bertaqlid kepada salah satu madzhab. Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa sebagian ulama’ tidak membokehkan bertaqlid secara mutkak, dan bahkan mewajibkan bagi mukallaf untuk melakukan ijtihad. Sementara sebagian ulama’ lain membolehkan bertaqlid, lebih- lebih bagi orang yang tidak mampu melakukan ijtihad.
Persoalannya adalah bahwa taqlid pada madzhab dan menjadikan pandangan- pandangan madzhab tesebut melebihi nash sebagai sumber ajaran isalam, dan tidak mau menerima kebenaran madzhab yang lain, merupakan sikap yang tidak terpuji. Padahal madzhab- madzhab hukum merupakan kelompok yang menafsirkan nash dan menggali hukum- hukum dari nash tersebut.
Oleh karena itu , dengan melakukan perbandingan tentang dasar- dasar istinbat dari berbagai madzhab hukum, dan menelaah segi kekuatan dan kelemahan hujjah masing- masing madzhab, niscaya akan membentuk sikap keterbuakaan dalam melihat berbagai persoalan hukum yang berbeda, serta membebaskan diri dari fanatik madzhab.
untuk mencari kebenaran
Tujuan muqaranah (membanding ) madzahib bukan mencari kelemahan, tetapi adalah untuk menemukan kebenaran. Syaiikh Muhammad as- Sayis menyebutkan bahwa muqaranah bertujuan untuk mengetahi cara atau metode para ulam’ dalam melakukan ijtihad dan memilih suatu ketentuan hukum yang dapat menentramkan jiwa. Dengan kata lain , melakukan muqaranah terhadap metode atau cara- cara yang ditempuh oleh berbagai madzhab dalam istinbat hukum merupakan keharusan dan kebutuhan yang tidak bias diabaikan. Hal ini,baik secara historis maupun secara sosiologis, ternyata perbedaan- perbedaan produk hukum, justru dilatarbelakangi oleh perbedaan atau cara metode yang ditempuh oleh berbagai madzhab dalam melakukan istinbat hukum. Dengan melakukan perbandingan terhadap berbagai madzhab dan c ara atau metode yang digunakan dalam istinbat hukum, akanmemberikan kemungkinan lebih luas untuk menemukan solusi hukum dari persoalan yang dihadapi serta dapat mesnguji kebenaran landasan teori pemikiran hukum ng dianut kalangan madzhab yang ada.
Post a Comment