RADIKALISME
Istilah radikalisme, fundamentalisme, islamisme, revivalisme
Islam dan Islam Politik merupakan
istilah yang sering
digunakan secara bergantian
untuk
menyebutkan sebuah fenomena
gerakan Islam yang memiliki visi Islam tertentu. Menurut Esposito
(2002), terminologi Fundamentalisme ini diterapkan dalam spektrum yang luas berkaitan dengan gerakan-gerakan atau aktor-aktor Islam yang memiliki visi
untuk mengembalikan visi Islam yang puritan
seperti yang pernah terjadi di masa lalu (romanticized past) atau
gerakan yang memperjuangkan reformasi modern yang berakar
dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Angel Rabasa
(2004) mengggambarkan fundamentalisme Islam sebagai usaha
sebagian kalangan muslim untuk
mengikuti keyakinan agamanya secara
asasi atau
fundamental dan
menginginkan untuk mengembalikan makna keberagamaan secara radikal.
Menurut Tibi (2012), hal yang paling
esensial
dari islamisme adalah
bahwa gerakan
ini bukanlah gerakan
keagamaan dan memperjuangkan keimanan tapi
Islamism adalah
gerakan
politik yang dia
istilahkan
dengan (religionized politics).
Religionized
politics bermakna sebagai sebuah proses untuk memperjuangkan sebuah tata
kehidupan politik (political order) yang diyakini bersumber atau terpancar dari
kehendak Allah
dan
bukan dari kedaulatan
rakyat. Gerakan Islamis ini menurut Tibi memiliki ideologi
yang menjadikan
agama (din) dan negara (dawlah) dalam tata politik yang
berlandaskan
syariah
dan
memiliki lingkup global yaitu
sebuah sistem
kekuasaan global. Tibi mengeritik penyebutan gerakan Islamis
dengan menggunakan
istilah Islam
Radikal, Islam Moderat,
revivalisme
Islam, jihadis
&
Islamis.
Pembagian tersebut menurutnya
adalah
hal yang menyesatkan
karena esensinya
semua jenis gerakan tersebut memiliki visi dan agenda politik yang sama meskipun caranya berlainan
menggunakan kekerasan atau
tidak.
Menurut Rabasa (2004) kelompok-kelompok Islam
radikal-fundamentalis
ini bisa dipahami dari beberapa kriteria yaitu:
1. Memiliki agenda politik dengan memobilisasi Islam sebagai sarana untuk menggapai cita-cita politiknya.
2. Memiliki ideologi yang berasaskan pada interpretasi literal dari sumber-sumber ajaran Islam namun dengan beberapa pembaharuan-pembaharuan yang lebih
politis dan menekankan jihad
sebagai sebuah kewajiban.
3.
Memiliki karakter politik yang revolusioner, anti status quo, dan berusaha
untuk menegakkan negara Islam yang ketat
(strict sharia-based
state).
4. Menganggap demokrasi sebagai sebuah paham yang kafir (infidel religion).
Dengan
memperjuangkan Pan-Islamic Caliphate.
5.
Menolak konsep barat yang berkaitan dengan HAM dan kebebasan individu, serta
menolak hak-hak minoritas umat beragama
lain atau hak muslim yang
berbeda pandangan.
6.
Bersifat reaktif dan cenderung menggunakan kekerasan dan paksaan dalam menerapkan pemahamannya baik dalam
berpakaian atau
berperilaku.
7. Kebanyakan
kelompok teroris berasal
dari kelompok radikal-fundamentalis ini.
Tidak jauh berbeda dengan tulisan Rabasa, Tibi (2012) mencatat beberapa
karakter yang khas yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis atau islamis.
Poin
yang terpenting menurut Tibi adalah an ambition for a remaking of the word. Visi tata dunia baru yang dicita-cita oleh kelompok Islamis
adalah tata dunia yang berdasarkan
atas hakimiyyat Allah (aturan Allah)
sebagai ganti atas konsep kedaulatan rakyat. Konsep
ini menurut Tibi hanyalah
buatan
dari kelompok Islamis semata
dan tidak ada dalam ajaran Islam tradisional (salaf) dan bukan dari warisan ajaran Islam. Poin kedua, pemahaman
mengenai konflik global antara Islam dan
Yahudi. Terdapat pemahaman dikalangan Islamis bahwa tata dunia baru yang akan dibangun oleh Islam
akan mengancam atau
terancam oleh
kaum Yahudi yang sekarang menguasai tata
dunia (world jewry). Ketiga, pandangan terhadap demokrasi, meskipun
para Islamis
berbeda dalam memandang demokrasi, namun pada dasarnya mereka memiliki visi
akhir yang sama yaitu negara Islam. Terakhir, memahami jihad sebagai sarana untuk menciptakan
tata dunia yang berasaskan Islam (Tibi, 2012).
Kelompok-kelompok yang memiliki
karakteristik seperti yang
disebutkan diatas, Rabasa
menyebutkan, seperti: al-Jama’a
al-Islamiyya (Mesir), Ansar
al-Islam (Irak), Hamas (Palestina), Kelompok Saudi Salafi-jihadist, gerakan Islam di Uzbekistan, Hizb
ut-Tahrir,
DDII-Indonesia,
MMI-Majlis
Mujahidin Indonesia,
KMM-Kumpulan Militan Malaysia, Jamaah
Islamiyah
(Asia Tenggara), Gerakan
Islam
Nigeria,
Jama’at al Ulema & Jama’at-i-Islami di
Pakistan.
Terdapat beberapa
alasan yang mendasari
munculnya kelompok-kelompok atau
gerakan radikal
dalam Islam seperti
yang
diungkapkan Rabasa, antara
lain:
Kegagalan rezim di negara-negara
muslim dalam membangun kesejahteraan
masyarakatnya
serta
kondisi politik yang korup dan represif hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam di tengah-tengah
masyarakat. Kemudian,
kemarahan terhadap
kebijakan Amerika
Serikat dan negara-negara barat
di negara-negara muslim seperti pada Isu Israel-Palestina, pendudukan Iraq & Afghanistan serta dukungan barat terhadap pemerintah-pemerintah totaliter
di dunia Islam. Penyebab yang lain adalah desentralisasi otoritas keagamaan dalam Islam Mazhab Sunni. Dalam
Sunni, ulama memiliki otoritas yang otonom dari kekuasaan untuk memberikan fatwa-fatwa keagamaan yang hal ini berpotensi disalahgunakan oleh segelintir
orang yang mengatasnamakan diri sebagai ulama untuk menciptakan fatwa-fatwa yang menyesatkan atau ekstrim.
Yang terakhir adalah
diamnya kelompok-kelompok muslim moderat dan ketidak mampuan mereka untuk
berhadap-hadapan secara terbuka dengan
kalangan radikal
(Rabasa,2004).
Sebab-sebab kemunculan radikalisme kurang lebih sama diungkapkan oleh
Zuly Qodir (2013) yang menuliskan terdapat 4 faktor penyebab radikalisme
khususnya di kalangan para
pemuda. Pertama, Kesehatan mental (mental health) yang rentan akibat persoalan
yang terjadi dalam keluarga atau dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua,
faktor ketimpangan ekonomi
di
tengah-tengah masyarakat yang
berakibat
menciptakan kecemburuan
sosial, ditambah lagi maraknya penyimpangan
dalam masyarakat. Ketiga, perubahan kondisi sosial politik yang berpengaruh terhadap
perilaku dan bentuk organisasi
keagamaan. Perubahan sosial politik global dan
dampaknya bagi masyarakat ikut mempengaruhi karakteri keberagamaan seseorang dan arah atau
tujuan sebuah organisasi keagamaan. Keempat, religious commitment, yaitu munculnya paham keagamaan yang ketat dalam memahami dimensi agamanya. Seluruh dimensi keagamaan
dianggap sebagai sesuatu yang sakral termasuk
diantaranya penggunaan terminologi jihad.
Radikalisme Islam pada intinya
adalah sebuah gerakan politik yang menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi untuk memperjuangkan cita-cita
politiknya. Sebagian
kalangan lebih memilih untuk menggunakan gerakan
tersebut sebagai gerakan
politik Islam karena mereka memiliki cita-cita untuk
menegakkan kekuasaan politik Islam
yang melampau
batas-batas
negara bangsa yaitu negara Khilafah Islam global, Pan
Islamic Caliphate.
Salah satu lembaga keagamaan yang ada di Indonesia yang memiliki posisi
yang tegas terhadap maraknya fenomena radikalisme adalah organisasi Nahdhatul Ulama
(NU).
Organisasi ini sangat banyak
mengutarakan kecaman
terhadap
radikalisme di Indonesia. Secara individual, para
ulama dan kiai NU diberbagai ceramah dan wawancara
menunjukkan permusuhannya terhadap pemikiran-pemikiran radikalisme dan telah
memperlihatkan
upaya-upaya untuk ikut terlibat dalam
memerangi
pemikiran tersebut.
NU memiliki posisi yang sangat penting dalam dinamika
keberagamaan di Indonesia.
NU adalah salah satu organisasi tertua di Indonesia dan memiliki
basis pendukung sekitar 40 juta orang
dari
semua kalangan baik di desa
maupun
di
kota.
Serta memiliki jaringan
pesantren yang
cukup besar di Indonesia
(www.nu.or.id). Dengan
argumen inilah sehingga penting untuk melihat respon dan peran NU terhadap
berkembangnya pengaruh politik Islam radikal di Indonesia. Pentingnya posisi NU
sebagai
organisasi Islam
moderat terbesar di Indonesia bahkan
di dunia menjadi bahan kajian menarik bagaimana
sikap dan aktifitas organisasi ini dalam melawan radikalisme
di Indonesia.
Post a Comment